Skip to main contentSkip to navigationSkip to navigation
Men fish near an abandoned mosque outside a seawall in Muara Baru Photograph: Kemal Jufri/The Guardian

$40M untuk menyelamatkan Jakarta: kisah sang Garuda Perkasa

This article is more than 7 years old
Men fish near an abandoned mosque outside a seawall in Muara Baru Photograph: Kemal Jufri/The Guardian

Lupakan Venesia. Kota yang paling cepat tenggelam adalah ibukota Indonesia, di beberapa tempat turun 25cm per tahun. Bisakah rencana yang janggal untuk membangun sebuah tanggul raksasa dan kota pinggir laut yang mewah dalam rupa burung Garuda menyelamatkan Jakarta agar tidak tergelam

by Philip Sherwell

Dengan tangan menggapai ke atas, penjaga toko berusia lanjut yang mengenakan terusan batik dan kerudung berwarna putih menunjukkan tinggi air yang masuk ke dalam rumahnya saat banjir di Jakarta pada 2007 lalu. Sukaesih bertubuh mungil, namun ia menunjuk ke atas bingkai pintu sekitar dua meter dari permukaan tanah.

Nenek berusia 60 tahun itu, yang seperti penduduk Indonesia pada umumnya hanya memiliki satu nama, tinggal di dekat laut di Muara Baru. Ruang depan kediamannya yang dialihfungsikan sebagai toko tempat ia menjual minuman ringan dan rokok kretek kegemaran penduduk lokal terlihat sederhana. Namun, toko Sukaesih berada di titik perjuangan kota Jakarta untuk bertahan hidup di atas permukaan air.

Di seberang gang rumah Sukaesih berdiri dinding tanggul dari batu yang diperkuat dan ditinggikan setelah 2007, namun dinding batu itu sudah mulai retak dan bocor. Dinding itu adalah satu-satunya lapisan pelindung yang membentengi rumah-rumah di daerah Muara Baru dari air Teluk Jakarta yang ketinggiannya hanya sedikit di bawah tanggul. Air kotor sudah merembes meflalui celah-celah batu meninggalkan lumpur becek yang mengalir di depan toko Sukaesih. Saat pasang, air akan meluap membanjiri sisi tanggul.

“Kami hidup dengan kenyataan ini setiap hari,” ujar Sukaesih sambil menatap tanggul. “Air masuk melalui tembok tanggul setiap saat dan meluap melewati atas tanggul saat air pasang.”

Namun, yang jadi masalah terbesar adalah tanggul yang melindungi Sukaesih dan komunitasnya saat ini mulai tenggelam.

Sukaesih berdiri di atas tanggul di Muara Baru tempat dia tinggal. Ketika pasang naik, airnya meluber. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Lupakan Venesia, yang perlahan-lahan terendam dengan kecepatan sekitar 2 mm per tahun. Kota itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Ibu Kota Jakarta, terutama di daerah utara, tempat empat juta manusia tinggal di daerah-daerah yang saat ini berada sekitar empat meter di bawah permukaan laut. Area di utara Jakarta, termasuk tanggul yang didesain untuk melindungi daerah itu, tenggelam dengan kecepatan 25 cm per tahun.

“Saya sudah tinggal di sini sejak 1981 tapi saya tidak tahu berapa lagi kami bisa tetap tinggal di sini. Air laut bertambah tinggi setiap tahunnya,” ungkap Sukaesih mengacu pada bahaya permukaan tanah yang terus menurun di bawah telapak kakinya.

Jakarta tenggelam akibat penurunan muka tanah. Kota ini tidak memiliki cukup air bersih terpipa, dan warga Jakarta mengandalkan sumur tanah yang menyedot air dari akuifer atau lapisan air tanah dangkal. Akibatnya, tanah di atasnya ambles.

Masalah ini diperkuat oleh ledakan jumlah apartemen, mal dan kantor-kantor pemerintah yang tidak mengindahkan larangan untuk menyedot air tanah serta memberikan beban tambahan pada tanah yang rapuh. Pengalihfungsian lahan menjadi daerah bangunan beton dan semen juga semakin memperparah banjir di Jakarta karena tanah tidak lagi dapat menyerap air untuk menggantikan air tanah yang tersedot.

Dengan menurunnya permukaan tanah pada kecepatan tinggi, bahaya banjir terus meningkat. Hal ini bukan disebabkan oleh meningkatnya permukaan laut atau pun hujan badai, melainkan karena sungai yang meluap akibat curah hujan tinggi. Air yang meluap merusak bantaran sungai karena tidak dapat mengalir ke muara akibat gaya gravitasi.

Jakarta sangat memerlukan persediaan air bersih terpipa yang berasal dari waduk di timur dan barat kota. Namun hingga kini penyediaan air bersih tersebut masih berwujud rencana semata. Sementara itu para ahli berpendapat bahwa Jakarta telah berada pada titik kemiringan yang membahayakan.

Kota: ‘Dua tahun untuk menyelamatkan utara Jakarta’ Photograph: Kemal Jufri/The Guardian

Kota: ‘Dua tahun untuk menyelamatkan utara Jakarta’

Terletak di daerah aliran yang dilewati oleh 13 sungai, Jakarta – rumah bagi 10 juta orang, dengan total 30 juta penduduk yang menempati daerah Ibu Kota dan sekitarnya – dibangun karena posisinya di tepi laut dan fitur geografinya.

Pelabuhan alami yang dimiliki Jakarta menjadikan kota ini kota pelabuhan penting bagi pemimpin kerajaan Hindu dan kemudian Islam, sebelum diduduki oleh Belanda yang mengambil alih tampuk kepemimpinan dan mendirikan pos perdagangan di Batavia serta menjadikannya Ibu Kota wilayah East Indies atau Hindia Timur.

Bahaya banjir sudah setua umur kota ini. Orang-orang Belanda, yang menghadapi tantangan serupa di negeri mereka, membangun serangkaian kanal untuk mengontrol aliran air, namun mereka tidak pernah dapat mengendalikan isu itu sepenuhnya. Kini, saat Jakarta tenggelam dengan kecepatan yang begitu dramatis, insinyur-insinyur dan pebisnis dari Belanda kembali menawarkan rencana mereka untuk menanggulangi air yang terus masuk ke wilayah pemukiman dan mewujudkan tanah reklamasi.

“Kami semua sudah tahu Jakarta perlahan tenggelam sejak awal 1990-an dan bahkan sejak sebelum itu, tapi tidak ada seorang pun yang khawatir atau paham sejauh mana permasalahannya,” ujar JanJaap Brinkman, ahli hidrologi dari pusat riset Belanda, Deltares, yang menghabiskan sebagian besar usia dewasanya mempelajari isu air di Jakarta.

“Lalu datanglah banjir di tahun 2007. Ketika kami mempelajari data dan mengamati peta, kami menemukan bahwa kota ini tidak tenggelam 1 cm per tahun seperti yang kami duga sebelumnya, melainkan 5-10 cm, bahkan lebih dari itu di beberapa tempat.”

Mengingat lebih dari 50 orang meninggal dan 300.000 orang terpaksa dievakuasi dari rumah mereka saat air merendam sepertiga kota, 2007 menjadi tahun yang memunculkan kesadaran bagi banyak orang. Solusi di atas kertas amatlah sederhana –kota ini harus menyediakan air bersih terpipa dan mengakhiri ketergantungannya pada air tanah.

Tokyo melakukan hal itu di 1960-an setelah tenggelam lebih dari empat meter di abad ke-20. Dalam satu dekade, ucap Brinkman sambil menunjuk pada grafik di komputernya, penurunan itu dapat dihentikan secara permanen.

Namun, tidak ada kemajuan signifikan selama sembilan tahun terakhir di Jakarta akibat kebijakan pengeluaran uang yang ketat, kebutuhan pembangunan berbagai infrastruktur serta dampak dari sistem desentralisasi pemerintahan yang muncul setelah Suharto tidak lagi menjabat. Brinkman, rasa humornya kerap diuji oleh ketidakpekaan pemerintah untuk mengambil aksi, mengatakan bahwa hanya tersisa dua tahun lagi untuk melakukan sesuatu. Bila pemerintah terus bergeming akan terlambat untuk menyelamatkan Jakarta Utara dari bencana.

Jakarta's seawall plan

Ada rencana yang begitu dramatis dan kontroversial untuk menyelamatkan kota yang tenggelam dengan kecepatan tertinggi di dunia, yaitu melalui suatu skema yang kerap disebut sebagai Proyek Tanggul Raksasa.

Di jantung rencana ini – yang diperkirakan akan memakan biaya sebesar 40 milyar dolar AS – adalah tanggul raksasa sepanjang 35km melintasi teluk Jakarta yang akan menciptakan laguna buatan berukuran masif dengan area pinggiran pantai tempat wilayah pengembangan kota baru akan didirikan di atas tanah reklamasi.

Proyek yang secara resmi diberi nama Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu kota Negara atau The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) ini didanai oleh pemerintah Belanda dan didukung oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, yang juga mantan gubernur Jakarta. Saat ini proyek ini tengah diperjuangkan oleh konsorsium yang dipimpin Belanda.

Tanah reklamasi merupakan rencana tertunda dari masa pemerintahan Presiden Suharto yang ingin membangun 17 pulau kecil di pesisir kota. Namun rencana tersebut telah berkembang menjadi konsep ambisius untuk mendirikan kota tepi pantai yang masif dan mencuat dari pinggir tanggul dan berbentuk burung garuda –burung dalam mitologi Hindu yang menjadi symbol negara Indonesia – dengan jalan lingkar yang berlapis-lapis untuk memberikan akses bagi kendaran di pinggiran kota.

Penduduk mengisi tangki air dengan air bersih. Utara Jakarta tenggelam lebih dikarenakan konsumsi air tanah yang berlebihan. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Dari atas, ilustrasi rencana proyek “Garuda Raksasa” ini mengingatkan kita pada pulau Palem buatan di pinggiran pantai Dubai. Para pengembang mencari inspirasi dari kisah di dalam negeri, dan berencana membangun gedung-gedung tinggi, apartemen mewah, mal-mal serta atraksi yang mirip dengan yang ada di Pulau Sentosa, Singapura.

Para pendukung proyek ini mengatakan bahwa Tanggul Raksasa satu-satunya cara untuk menyelamatkan kota dari bencana banjir yang menyapu bagian utara Jakarta, dan pulau-pulau baru akan memberikan dana pembangunan yang berasal dari para pengembang. Namun rencana tersebut terbelit serangkaian tuntutan hukum, skandal dan kontroversi moral – terutama terkait dengan pengungsian masal kampong-kampung tradisional nelayan dan komunitas tepi laut yang kebanyakan akan diratakan dengan tanah.

Para kritikus –yang terdiri dari ilmuwan Indonesia, aktivis tanah dan penduduk setempat—mengatakan bahwa proyek itu sungguh aneh dan tidak dibutuhkan serta akan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Mereka berpendapat bahwa kehidupan desan nelayan tradisional akan hancur ketika pengungsiaan masa ditegakkan dan seluruh komunitas digusur dan dipindahkan sejauh 20 km dari tempat asal mereka.

Mereka juga menyatakan bahwa dengan mendirikan tembok di sekeliling teluk Jakarta, area itu akan berubah menjadi laguna tempat penampungan air kotor. Dengan tingkat pengelolaan air limbah yang masih minim pada air sungai yang mengalir ke teluk, usaha untuk membersihkan pinggiran laut Jakarta bisa jadi akan memiliki dampak yang sebaliknya.

Sungai: ‘Semua orang sepakat bahwa kita harus melakukannya sekarang’

Sungai: ‘Semua orang sepakat bahwa kita harus melakukannya sekarang’

Yang tidak menjadi perdebatan adalah pentingnya untuk segera beraksi. Tepat di muka tanggul di Muara Baru, tumpukan batu diletakkan di dasar laut untuk memperkuat pertahanan dari air yang masuk. Tidak banyak orang yang keberatan dengan tindakan yang merupakan Tahap A dari program NCICD.

“Ini adalah tahap ‘tanpa penyesalan’ ketika semua orang setuju kita perlu melakukannya saat ini,” ujar Tuty Kusumawati, ketua badan perencanaan pembangunan Jakarta sambil mengamati berbagai peta dan diagram wilayah tepi pantai Jakarta.

Untuk menangani banjir air tawar, sungai-sungai yang penuh sampah dan berbagai polutan lainnya tengah diperlebar, dikeruk, dibersihkan dan dilindungi dengan pembatas beton –tindakan ini merupakan perintah Basuki Tjahja Purnama, gubernur Jakarta yang lebih dikenal dengan nama panggilannya, Ahok.

Pada sungai-sungai kecil yang telah menurun terlalu dalam untuk dapat mengalir ke laut, serangkaian pompa dan polder serta waduk tengah dibangun untuk menampung air saat curah hujan tinggi dan banjir. Namun beberapa ahli mengatakan bahwa pompa tersebut tidak cukup besar dan tidak ada cukup lahan untuk menangani masalah sejenis di sungai-sungai yang lebih besar –itulah pentingnya intervensi yang lebih dramatis.

Ketika proposal Tanggul Raksasa diperkenalkan, pemerintah Indonesia meminta konsultan Belanda untuk memikirkan konsep yang lebih ambisius sebagai pendamping ide Tanggul Raksasa. Permintaan itulah yang melahirkan desain burung garuda yang megah.

Belanda terkenal sebagai pembela perjuangan melawan laut dan pembangunan lahan reklamasi, dan mereka memiliki banyak ahli di bidang itu. Namun, di negara bekas koloni Belanda ini banyak kritik yang meragukan motif para konsultan Belanda yang didanai oleh pemerintahnya serta motif pebisnis yang mengajukan proposal yang begitu kolosal.

Victor Coenen, manajer proyek Witteveen+Bos, perusahaan konsultan yang mengepalai konsorsium Tanggul Raksasa, tidak menghiraukan kritik itu. “Tidak masalah kalau mereka tidak membutuhkan bantuan kami, karena kami bisa mencari proyek lain,” ujarnya. “Tapi pemerintah Indonesialah yang mendatangi Belanda untuk mencari solusi banjir dan uang pemerintah Belanda yang membantu proyek ini.”

‘Jika mereka tidak menginginkan bantuan kami, kami bisa ke tempat lain,’ kata Victor Coenen, manajer proyek konsultan teknik Witteveen+Bos Belanda. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Kunjungan minggu ini ke Indonesia oleh misi dagang Belanda yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mark Rutte memberikan dorongan bagi perdebatan terkait proyek kolosal ini. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, gabungan beberapa kelompok yang menentang rencana itu, telah menulis kepada Rutte menjelaskan ketakutan dan kritik mereka.

“Belanda terkenal dengan langkah-langkah mitigasi banjir,” bunyi isi surat tersebut. “Langkah-langkah ini menggunakan pendekatan yang kompleks dan mematuhi prinsip-prinsip perlindungan sosial dan lingkungan serta tata laksana pemerintahan yang baik. (Namun) yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Kami sangat khawatir akan hilangnya mata pencaharian dan pelanggaran hak asasi manusia serta kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki yang disebabkan oleh proyek ini.

“Karena itu kami ingin menekankan bahwa jika pemerintah Anda dan pemerintah Indonesia bersikeras membangun NCICD, akan ada puluhan ribu nelayan skala kecil yang kehilangan mata pencahariannya.”

Pelebaran dan penguatan sungai-sungai kota sudah menjadi saksi bagi ribuan penduduk kampung yang tergusur. Mereka dipaksa pindah dalam hitungan hari dan dievakuasi ke rumah susun yang jaraknya berkilo-kilometer dari pinggiran pantai tempat mereka bekerja.

Namun menurut Brinkman, “Hanya ada dua pilihan, mundur atau maju. Kita bisa meninggalkan proyek Jakarta Utara, yang tidak akan memberi solusi efektif, atau maju ke teluk Jakarta dan membangun tanggul.”

Teluk: menciptakan laguna penampung kotoran? Photograph: Kemal Jufri/The Guardian

Teluk: menciptakan laguna penampung kotoran?

Di Muara Baru, Coenen menjelaskan alasan pembangunan Tahap B NCICD – Tanggul Raksasa – saat dia berkeliling melihat wilayah yang telah diperkuat.

“Zaman dulu, air mengalir ke laut,” ujarnya. “Kini air terkumpul di kota dari beberapa sungai. Air itu tidak bisa mengalir keluar, jadi kita harus memompanya. Namun di sungai-sungai yang lebih besar, kita membutuhkan bantaran sungai yang lebih tinggi dan pompa air yang lebih kuat serta waduk untuk menampung air.

“Kita tidak bisa membangun bantaran sungai yang tingginya sekitar lima sampai tujuh meter di atas komunitas tepi sungai dan tidak ada cukup lahan untuk membangun waduk. Itu sebabnya kami mengajukan usul membangun Tanggul Raksasa untuk menciptakan waduk besar lepas pantai. Dengan begitu kita bisa menurunkan tinggi air sehingga sungai bisa kembali mengalir.”

Namun bagian dari proyek itulah yang ditanggapi dengan sangsi oleh seorang ilmuwan terkemuka Indonesia. Alan Koropitan, dosen di bidang oseanografi di Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan bahwa solusi bagi teluk Jakarta adalah “restorasi, bukan reklamasi.”

Menurutnya, membangun tanggul dan pulau buatan akan menciptakan polusi yang lebih tinggi den menimbulkan sedimentasi yang lebih besar karena air terperangkap di dalam tanggul, dan tidak mengalir ke laut.

“Jika kita bisa merestorasi teluk dan air yang terpolusi, maka ini akan berdampak baik bagi peradaban di Indonesia. Saya yakin ekonomi baru akan muncul dari situ –dalam bentuk pariwisata, budidaya perairan, maupun industri perikanan.”

Muslim Muin, kepala riset teknik pantai di Institut Teknologi Bandung (ITB), juga tidak terkesan pada proposal bernilai milyaran dolar itu. “Jika Tanggul Raksasa diwujudkan, akan ada biaya luar biasa besar untuk pembangunanan dan pengoperasiannya dan ini akan menciptakan dampak lingkungan yang serius dan memakan biaya tinggi. Lebih parahnya, proyek ini bisa memperparah risiko banjir Jakarta.”

“Dengan membangun waduk-waduk, sirkulasi air akan menurun secara pesat dan sampai pada titik air tidak lagi bergerak. Proses pembersihan alami tidak lagi terjadi,” tambahnya sambil menyebutkan epidemi malaria yang dimulai dari isu air pada zaman Belanda.

Sebuah tanggul laut sedang dalam pengerjaan di Muara Baru. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Coenen juga mengakui bahaya lingkungan dari “laguna air kotor” yang mungkin tercipta dengan pembangunan tanggul di teluk Jakarta. Tapi dia berpendapat bahwa pembangunan tanggul harus diikuti dengan usaha sanitasi air. “Yang menjadi poin utama adalah dalam waktu dekat kita tidak akan punya pilihan lain,” tambahnya.

Namun ini bukan sekadar kontroversi lingkungan. Rencana Tanggul Raksasa telah terkait dengan gagasan yang lebih ambisius dan mengundang perdebatan, yaitu rencana sapu bersih daerah tepian laut.

Pindahnya daerah pemukiman ke selatan pesisir telah dimulai di zaman penjajahan Belanda di abad ke-19. Penduduk yang lebih memilih tinggal di daerah hijau dan jauh dari penyakit serta banjir memilih untuk menetap di bagian selatan kota. Tren ini terus belanjut bahkan setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, dan kebanyakan penduduk kota tinggal di Selatan, Timur atau Barat Jakarta.

Akibatnya, daerah pesisir pantai didominasi oleh pelabuhan dan industri-industri terkait dan menjadi rumah bagi para nelayan miskin. Yang menjadi perkecualian adalah komunitas Indonesia keturunan Cina yang berperan penting dalam dunia bisnis di negara ini, termasuk dalam bidang properti.

Etnis Cina sudah lama menetap di daerah teluk Jakarta dan banyak dari keluarga-keluarga kaya dan berpengaruh di kota ini menempati komunitas berpagar dan kompleks apartemen bertema laut dengan nama seperti Regatta dan Green City.

Pembicaraan mengenai kota tepi pantai baru yang terdiri dari 17 pulau buatan, mencuat sejauh tiga kilometer dari pesisir pantai menuju teluk, telah dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an. Proyek ini sempat terhenti karena krisis ekonomi Asia, namun kini kembali dimunculkan dengan gagasan tambahan – pulau-pulau tersebut bisa menjadi sumber penghasilan untuk menambah dana bagi proyek NCICD di negara yang pemerintahnya selalu kekurangan dana.

Kapal-kapal keruk berukuran besar telah didatangkan ke teluk untuk menuangkan muatannya dan membentuk fondasi bagi pembangunan empat pulau di tahun 2013, namun pembangunan itu dihentikan di April lalu. Penangguhan proyek diumumkan ketika terungkap kasus korupsi menyangkut salah satu pimpinan kelompok pengembang yang menyuap anggota pemerintah terkait hukum zona di daerah itu.

Pihak penuntut membongkar hubungan finansial yang mencurigakan antara pengembang dan bagian anggaran kota Jakarta. Pemerintah menyatakan bahwa proyek reklamasi akan dimulai lagi di bulan September, namun hingga kini proyek tersebut belum berjalan. Akibatnya, pembangunan keempat pulau tersebut menjadi proyek terbengkalai dan terlarang.

Pulau-pulau: Gedung-gedung tinggi, hunian berpenjagaan ketat dan pelabuhan kapal pesiar

Pulau-pulau: Gedung-gedung tinggi, hunian berpenjagaan ketat dan pelabuhan kapal pesiar

Pengunjung yang memasuki oasis berpendingin Riverwalk Bay, mal di dasar kompleks Green City di daerah Pluit, dapat melihat contoh “Pulau G” hasil rancangan NCICD yang dipasarkan sebagai Pluit City. Maket itu terlihat begitu mewah dan futuristis dengan gedung-gedung tinggi modern, komunitas vila berpagar, dan marina bagi kapal-kapal pesiar.

Seorang petugas keamanan mengawasi area itu untuk memastikan setiap pengunjung mematuhi aturan “dilarang memotret”. Agar dapat melihat Pulau G dari dekat, penting untuk berlayar ke teluk Jakarta bersama Suhali bin Urip, nelayan setempat, yang telah bekerja di daerah itu selama 30 tahun.

Suhali, 58 tahun – wajahnya terlihat lebih tua dari usianya karena selama puluhan tahun ia melaut di bawah terik matahari tropis – merupakan salah satu aktivis kampanye “tolak reklamasi”.

“Kami adalah penduduk yang tinggal dan bekerja di sini, tapi tidak ada seorang pun yang mendatangi kami untuk mendiskusikan masa depan kami,” ujarnya. “Kelompok elit, para politikus, orang-orang kaya, mereka membuat keputusan tanpa memedulikan kami atau pun mencoba memahami kami.”

Ari Sapilah seorang nelayan di Muara Angke. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Suhali tinggal bersama keluarganya di desa nelayan di Muara Angke. Penduduk desa itu berpenghasilan sekitar 25 hingga 40 dolar AS setiap bulannya bekerja di atas perahu dan kini mereka dipaksa berlayar lebih jauh untuk menangkap ikan.

Gubuk-gubuk reyot dari papan tripleks, batako dan lembaran seng yang disatukan dengan tali atau paku berdiri di atas panggung kayu dan menghadap ke lautan yang berfungsi sebagai toilet serta tempat sampah.

Perahu kayu Suhali, dengan cat yang mengelupas dan dek yang merenggang, ditambatkan di dermaga yang terbuat oleh batang-batang bambu dan kerangka-kerangka pintu yang sudah usang. Beberapa kali ia menarik tali untuk menghidupkan mesin kapal. Setelah mesin terbatuk-batuk dan menyala, kami berlayar di teluk Jakarta mengarah ke tempat tujuan. Pergerakan perahu kami diawasi oleh petugas polisi di perahu motor.

Tidak lama kemudian Pluit City yang masih dibangun terlihat di depan mata. Saat ini pulau-pulau itu masih berupa gundukan pasir reklamasi setinggi beberapa kaki di atas permukaan air dengan pengembangan Regatta dan Green City sebagai latar di kejauhan.

“Saya dulu biasa mencari ikan di sini,” ujar Suhali, perahunya bergoyang-goyang mengikuti ombak. “Tapi mereka kini membangun daratan di atas air sehingga tidak ada lagi ikan di sini.”

Selama perjalanan, kami hanya melihat satu nelayan menebarkan jalanya –berharap menemukan ikan di daerah itu. Satu-satunya perahu lain yang beroperasi adalah perahu dayung pencari sampah yang mengumpulkan botol-botol plastik untuk dijual dan didaur ulang.

Dalam perkara hukum yang menolak rencana reklamasi pulau, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah menyatakan bahwa pulau-pulau baru ini menempati wilayah tradisional nelayan mencari ikan. Sedangkan sedimen dari proses pengurukan telah mengusir ikan dari perairan setempat.

Sebuah papan reklame yang menawarkan kota pinggir laut. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Kembali ke daratan, bau ikan asin – yang pertama-tama direbus menggunakan api terbuka dan dijemur di bawah terik matahari – tercium tajam dari arah gudang tempat produksi.

“Keluarga kami telah bekerja di sini selama tiga generasi, tapi mereka tidak menginginkan kami jika mereka tetap berniat meneruskan rencana hebat itu,” ujar Haji Hernoto, 44. “Mereka tidak suka mencium bau kami atau melihat kami.”

Saat ditanya siapa “mereka”, istrinya, Sitiwardah menjawab, “Ah kau pasti tahu, orang-orang kaya, politikus, para pengembang … Orang-orang Cina yang akan membeli apartemen-apartemen itu.”

Komentarnya tidak hanya mencerminkan kebencian dan perpecahan yang disebabkan oleh isu kelas dan harta, tapi juga etnisitas. Para pengembang di daerah pesisir pantai hampir semuanya merupakan kelompok Cina Indonesia seperti juga Basuki, gubernur yang biasa bicara blak-blakan. Sedangkan komunitas lokal di daerah itu yang terancam tergusur sebagian besar adalah penduduk setempat yang beragama Islam.

Di samping itu, wilayah pengembangan baru yang mencakup pulau-pulau buatan tidak hanya dipasarkan bagi penduduk kelas atas Indonesia, melainkan juga pembeli keturunan Cina dari Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Cina daratan via iklan-iklan televisi dalam bahasa Mandarin yang menjual “visi gaya hidup baru” di Pluit City.

Penggusuran: seperti adegan kehancuran sisa peperangan Photograph: Kemal Jufri/The Guardian

Penggusuran: seperti adegan kehancuran sisa peperangan

Ketika pertikaian yang akan menentukan masa depan daerah pesisir Jakarta tengah berjalan, gubernur Jakarta sudah mulai melancarkan aksi kontroversialnya untuk memecahkan persoalan banjir di bagian tengah kota.

Sungai-sungai kota sudah lama penuh dengan sampah dan manusia. Puluhan ribu orang mendirikan pemukiman di sepanjang sisi sungai, mereka bahkan menancapkan tonggak-tonggak kayu di atas sungai dan membangun rumah di atasnya. Kampung-kampung tidak resmi ini berkembang menjadi pemukiman miskin tempat masyarakat tinggal dan bekerja.

Sebagian pemukim menggunakan sungai sebagai tempat sampah dan pembuangan kotoran sehingga memunculkan bau tidak sedap dan menyumbat aliran sungai serta kanal yang mengakibatkan banjir kronis di dalam kota. Tidak hanya itu, pemukiman dan pabrik-pabrik yang memadati tepi sungai juga menyebabkan lebar sungai menyempit dan aliran sungai semakin terhambat. Tentu saja, ada banyak penduduk Jakarta yang ikut berkontribusi dalam isu polusi ini, namun mereka yang tinggal di kampung-kampung miskin inilah yang menjadi sasaran resmi.

Basuki menugaskan serombongan pekerja untuk membersihkan sungai dari permukaannya yang kotor dan ditutupi oleh eceng gondok. Ini merupakan salah satu dari prakarsa memperbaiki “kualitas hidup” yang kerap digaungkan, termasuk di dalamnya memperkenalkan nomor sambungan langsung yang memberi akses bagi penduduk Jakarta untuk menelepon dan melaporkan masalah di dalam kota.

Tapi dengan gaya administrasi Basuki yang “segera bereskan” dalam melihat tata kota, dia juga melakukan pengusiran massal pada penduduk kampung di sepanjang sungai. Menurut petugas, lokasi pemukiman di tepi sungai meningkatkan permasalahan banjir, dan mereka yang bermukim di sana rentan menjadi korban banjir.

Basuki mengikuti nasihat dari para konsultan untuk melebarkan sungai dan mendirikan tanggul sehingga air yang meluap dapat segera mengalir ke laut atau disimpan dengan aman. Di berbagai tempat di Jakarta, tembok-tembok beton didirikan di sepanjang bantaran sungai dengan menggunakan peralatan berat.

Pemandangan lingkungan kumuh di pinggir kali di Muara Baru, Jakarta Utara. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

Di Balai Kota, Kusumawati, ketua badan perencanaan pembangunan Jakarta, menjelaskan rencana penyediaan rumah bagi penduduk tepi sungai sembari memberikan detil proyek untuk memperkerjakan komunitas nelayan yang dipindahkan dari pinggiran laut. “Kami mengurusi warga kami,” ungkapnya. “Rumah-rumah baru ini lebih baik dari pemukiman kumuh tempat mereka tinggal.”

Sementara itu, Coenen, dengan terus terang menjelaskan pendapatnya mengenai tantangan yang dihadapi Jakarta, “Sungguh disayangkan, tapi Anda harus menghancurkan beberapa wilayah untuk menyelamatkan kota,” ungkapnya. “Ini adalah solusi teknis bagi masalah yang bersifat teknis. Namun, kota juga membutuhkan solusi sosial bagi masalah sosialnya.”

Kata-katanya tidak memberikan penghiburan bagi penduduk di daerah Akuarium dekat pelabuhan Sunda Kelapa di mulut kali Ciliwung. Ratusan rumah, termasuk yang berada di samping sungai, dirobohkan secara paksa di awal tahun dan terjadi bentrokan antara warga dengan petugas keamanan.

Kini, Akuarium menyerupai kondisi di masa perang. Sebagian penduduk lokal masih secara liar hidup di tengah-tengah reruntuhan sementara sebagian lain berusaha membangun kembali rumah mereka dengan menggunakan lembaran seng dan batu bata yang mereka selamatkan dari puing-puing.

Kecurigaan bahwa mereka dipaksa pindah untuk mendirikan proyek pariwisata di wilayah dekat gedung-gedung Belanda beratap merah yang merupakan peninggalan zaman kolonial dan bukan untuk memperlancar aliran air sungai serta memerangi banjir merebak dengan cepat. Para petugas telah memberitahu para pengungsi agar pindah ke rumah susun berbiaya rendah yang telah dibangun di bagian lain kota.

Namun rumah baru yang ditawarkan oleh pemerintah terletak 20 km jauhnya dari kediaman mereka, di lokasi yang menempatkan mereka jauh dari air tempat mereka bekerja di usaha perikanan dan pariwisata.

Johariah menjual ikan asin di depan warung gubuk dekat sisa-sisa bekas rumahnya. Foto: Kemal Jufri untuk the Guardian

“Kami tidak mendapat tawaran kompensasi apa pun, meski kami telah dijanjikan, dan kami disuruh pindah ke rusun di Cakung,” ujar Johariah, ibu dari 10 anak, menyebutkan daerah yang jauh dari lautan.

Johariah menyambung hidupnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjual ikan asin. Penduduk lain yang tinggal di antara puing-puing akan menuturkan cerita yang mirip; bahwa mereka menggantungkan hidup mereka pada air. Penggusuran dadakan dengan menggunakan buldoser serta petugas polisi bersenjata yang datang hanya dalam hitungan jam setelah mereka mendapat pemberitahuan semakin memperdalam kemarahan mereka – begitu pula dengan rangkaian percekcokan seputar hak milik dan kompensasi.

Pihak otoritas menyatakan bahwa penduduk kampung itu adalah penghuni liar yang menempati tanah milik negara. Namun banyak dari mereka telah tinggal di daerah itu selama bertahun-tahun, bahkan beberapa dekade, dan mereka bersikeras bahwa hak mereka sebagai warga diakui oleh badan kota yang memungut pajak properti. Beberapa penduduk dengan marah menunjukkan lembar tagihan pajak mereka; dan beberapa mengatakan bahwa mereka membeli rumah di daerah itu dan memperoleh pinjaman bank untuk membeli rumah mereka.

“Mereka bilang kami tidak berhak berada di sini, tapi saya membeli rumah ini,” ujar Johariah. “Anda tidak boleh memperlakukan kami seperti ini.”

Grafiti menolak Ahok – sebagaimana ia dikenal oleh musuh maupun temannya – terlihat di berbagai tembok di daerah Akuarium. Partai Islam menggunakan kemarahan warga untuk melancarkan kampanye penolakan gubernur beragama Kristen di negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Ahok sendiri menuai banyak dukungan di berbagai daerah lain di kota ini.

Sebuah usaha pengolahan ikan asin di Muara Angke. Foto Kemal Jufri untuk the Guardian

Minggu lalu, polisi menyebutnya sebagai tersangka kriminal dalam kasus investigasi penistaan agama terkait komentarnya yang mengutip Al-Quran saat berbicara mengenai saingan politiknya. Sang gubernur, yang melakukan kampanye untuk masa jabatan kedua pada pemilihan di bulan Februari, menghadapi tuntutan yang dapat berujung pada sanksi lima tahun penjara. Kasus ini diperkirakan akan semakin mempersulit rencana untuk membersihkan dan mempercantik pesisir Jakarta.

Saat ini, rencana reklamasi untuk membangun 17 pulau buatan masih tertunda, meski dilaporkan ada perpecahan di dalam kabinet Presiden terkait isu tersebut. Namun, diperkirakan dukungan Widodo pada proyek ini akan menang pada akhirnya. Terlebih ketika Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kelautan yang merupakan orang kepercayaan Presiden telah mendesak agar moratorium segera diangkat. “Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meneruskan pembangunan reklamasi di pesisir Jakarta Utara,” ujarnya di bulan September.

“Diperkirakan seluruh Jakarta Utara akan tenggelam di bawah permukaan air pada 2030,” ungkap Presiden pada sidang kabinet di awal tahun. “Karena itu, pembangunan tepi laut Ibu Kota yang telah ditunda begitu lama akan menjadi jawaban bagi Jakarta.”

Namun, pada sidang kabinet susulan yang direncanakan digelar akhir Oktober untuk mengkonfirmasikan posisi pemerintahan terkait NCICD, isu tersebut tidak dimunculkan. Dalam dunia politik yang serba tidak jelas, pergulatan kekuatan di belakang layar sulit untuk diungkap.

Saat ini terdapat spekulasi bahwa keputusan untuk pembangunan Tanggul Raksasa akan tertunda selama satu tahun atau bahkan lebih, memberikan waktu lebih banyak untuk melakukan penyelidikan dampak rencana itu pada lingkungan dan masyarakat tepi pantai. Sedangkan pembangunan Garuda Raksasa yang awalnya direncanakan akan dibangun di atas tanggul bisa jadi tidak akan terwujud dalam waktu dekat.

Kembali ke puing-puing Akuarium, saat Johariah memperhatikan sekelilingnya dari warung ikan sederhana miliknya, seorang pemandu wisata tengah memimpin turis-turis Eropa berjalan melewati daerah itu dalam perjalan dari museum kelautan menuju pelabuhan lama.

Pemandangan kontras itu menggambarkan perjuangan untuk menentukan masa depan pesisir pantai Jakarta. Dan selama itu, sejak Sukaesih memandang dinding batu yang sudah mulai retak dan bocor dari depan tokonya, kota ini terus tenggelam.

Most viewed

Most viewed