Tragedi Hercules A-1310 lampu merah modernisasi alutsista

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tragedi Hercules A-1310 lampu merah modernisasi alutsista

EPA

Riwayat kecelakaan yang melibatkan pesawat militer di Indonesia cukup panjang. Dana menjadi alasan minimnya pemeliharaan?

“Kalau yang terlalu tua sekali di atas 25 tahun sudah tidak dipakai lagi,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, 1 Juni 2008. 

Dia merujuk kepada kecelakaan, jatuhnya pesawat Casa N 212-200 milik TNI AU , di dasar jurang, lereng Gunung Salak, pada 26 Juni 2008. Pesawat ditemukan sehari sesudah dilaporkan hilang kontak. 

Ada 18 penumpang dan kru di pesawat yang mestinya memuat 12 penumpang dan kru. Semua ditemukan tewas. Jenazah awak dan penumpang dilepas  dengan upacara militer dan dikebumikan pada 30 Juni 2008.

Tragedi jatuhnya Hercules  C-130 tipe B milik TNI Angkatan Udara dengan nomor registrasi A-1310 di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, pada Selasa, 30 Juni, mengingatkan Yetti Susilowati kepada musibah yang membuatnya kehilangan suami tercinta, Letnan Kolonel Supriyadi.  Almarhum adalah salah satu perwira TNI yang ada dalam pesawat Casa N 212-200 yang jatuh di lereng Gunung Salak itu. 

“Maaf perasaan saya nggak karuan, Mbak. Miris, sedih dengan jatuhnya Hercules di Medan,” kata Mbak Yetti, ketika saya kontak kemarin siang.  Sebenarnya saya ingin menanyakan kontak kenalan di TNI AU. 

Rupanya, kemarin Yetti dan keluarga para awak pesawat yang menjadi korban dalam tragedi berkumpul di Bale Bengong  Halim Perdana Kusuma, untuk memperingati dan mendoakan keluarga dan teman yang menjadi korban.  

“Kami tengah mengenang 7 tahun upacara pelepasan dan pemakaman almarhum suami dan kru Casa,” kata Mbak Yetti. 

Saat musibah terjadi, Yetti adalah sekretaris Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.  Hari-hari ini dia memasang foto-foto saat pemakaman sang suami di status profil kontak whatsapp-nya.

Ada banyak keluarga dan kerabat di lingkungan TNI AU yang kehilangan seperti Yetti, dan merasakan haru dan miris yang sama setiap kali terjadi tragedi kecelakaan yang menimpa pesawat TNI AU. 

Kecelakaan pesawat militer Indonesia

Dua orang tentara berjalan di samping pesawat Hercules C-130 yang terbakar di Magetan, Jawa Timur, 20 Mei 2009. Foto dari Soegeng Haryanto/EPA

Riwayat musibah yang menimpa pesawat milik TNI di Indonesia cukup panjang.  Saya menemukan data himpunan kejadian dari sebuah situs yang menulis mengenai militer. 

28 Maret 2000,  pesawat Jet Hawk Mk-53 TNI AU  jatuh di Bandara Iswahyudi, Madiun.

 Juli 2000, pesawat A-4 Skyhawk jatuh saat patroli rutin di Sulawesi Selatan.  

21 November 2000, pesawat latih Hawk TNI AU jatuh di Pontianak

8 Januari 2001, pesawat Casa N-212 TNI AL U-614 dari Timika menabrak pegunungan Jayawijaya

16 November 2001, pesawat Hawk 200 mengalami gangguan saat take-off

20 Desember 2001, Hercules C-130 A Skuadron 31 tergelincir, terbakar di Bandara Polonia, Medan

28 Maret 2002, 2 pesawat latih Hawk Mk-53 (TT 5310 dan TT 5311) tabrakan ketika latihan aerobic

27 Agustus 2002, helikopter latih TNI-AU Bell 47G, jatuh di Pabuaran, Subang, Jawa Barat

10 Februari 2003, pesawat A-4 Skyhawk TNI AU  tergelincir di Bandara Hasanuddin, Makassar

22 Apil 2003, helikopter BO 105 HS-7058 TNI AD jatuh di Desa Merbau, Aceh Utara

30 Oktober 2003, helikopter Sikorsky S 58-T H 3408 jatuh di Kebun Kacang dekat Lanud Atang Senjaya Bogor

 

6 Juli 2004, pesawat latih TNI AU AS 202 B jatuh di sawah, Kec Sukomoro, Nganjuk, Jatim

12 Oktober 2004, helikopter Bell 205 TNI AD jatuh di Desa Blang Rakal, Aceh

1 Desember 2004, pesawat F-16 TNI AU tergelincir di Bandara Hasanuddin, Makassar

22 Desember 2004 Bell 416 TNI AL jatuh di Nabire

23 Desember 2004, helikopter Puma NAS-332  N0 3201 jatuh di Desa Suren Gede, Wonosobo, Jateng

21 Juli 2005, pesawat CN-235 TNI AU jatuh ketika landing di Bandara Malikussaleh, Lhok Seumawe

21 Juli  2005, pesawat TNI AU Bronco OV-10 jatuh di hutan Cincing, Malang, Jatim

12 Oktober 2005, helikopter S-58 T H-3451 TNI AU jatuh saat latihan di Lanud Sentani, Papua

19 Juli 2006, pesawat casa NC-212 200 TNI AD jatuh di Tambak Cilendek, Semarang

21 November 2006, pesawat Hawk 209 TT-0207 TNI AU jatuh di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru

 

23 Juli 2007, pesawat Bronco OV-10F  jatuh dan terbakar

30 Oktober 2007, pesawat Hawk 209 TT  0203 TNI AU jatuh di Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau

30 Desember 2007, pesawat intai Nomad P-833 TNI AL jatuh di perairan Sabang, Aceh

7 Januari 2008, helicopter S-58 T jatuh di Desa Ogom, Riau

26 Juni 2008, pesawat TNI AU Casa N-212 mengangkut 18 penumpang, termasuk 12 militer, dan 6 warga sipil, jatuh di Gunung Salak, Bogor. Semua tewas

7 Maret 2009, pesawat Fokker F-27 TNI AU jatuh di Bandara Hussein Sastranegara, Bandung

20 Mei 2009, pesawat Hercules C-130 A 1325 dengan 14 awak dan 98 penumpang, jatuh di Desa Karas, Madiun, Jatim. Semua tewas

 

April 2009, pesawat Fokker F-27 membawa pasukan dan keluarganya jatuh di Bandara Hussein Sastranegara, Bandung. 24 tewas

Juli 2012, pesawat Fokker F-27 TNI AU  jatuh dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, 9 orang tewas

Agustus 2013, pintu helikopter latih TNI AU jatuh di sebuah pemukiman di Jakarta.  Tidak ada korban jiwa

 

November 2013, helikopter milik TNI AU jatuh di dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, 13 orang tewas.

Maret 2015, dua pesawat TNI AU tim akrobatik Jupiter jatuh di sesi latihan di Langkawi International Maritime and Aerospace.  Pilot dari kedua pesawat selamat.

April 2015, pesawat tempur F-16 TNI AU terbakar di Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta, sesaat setelah pesawat lepas landas

30 Juni 2015, pesawat Hercules TNI AU C-130 B jatuh sesaat setelah lepas landas dari Bandara Polonia, Medan.  Saat tulisan ini dibuat, ditemukan tim pencari mengangkut 141 kantung jenazah. 

KSAU Agus Supriyatna mengatakan bahwa ada 101 penumpang termasuk warga sipil dan 12 awak pesawat.  Semua diperkirakan tewas.  Ada tiga warga sipil yang ada di ruko yang hancur ditimpa pesawat itu yang juga menjadi korban.

KNKT tidak dilibatkan?

Tentara dan sukarelawan mengevakuasi tubuh korban kecelakaan pesawat Casa C-212 di Gunung Salak, pada 28 Juni 2008. Foto oleh Adek Berry/AFP

Tidak ada blackbox, atau kotak hitam, dalam setiap pesawat yang dioperasikan oleh militer. Kotak hitam selalu menjadi benda yang paling dicari setiap kali ada kecelakaan pesawat, karena menyimpan data percakapan antara pilot dengan stasiun pengendali udara yang bisa menjadi petunjuk penyebab kecelakaan.

Dalam kasus Casa N-212 yang jatuh di Gunung Salak, saat itu KSAU Marsekal TNI Subandrio mengatakan, penyelidikan mengandalkan pengamatan visual, karena ketiadaan kotak hitam.  

“Akan sangat berbahaya apabila pesawat TNI AU dilengkapi dengan kotak hitam, apalagi bila pesawat justru jatuh di daerah musuh,” demikian kata Subandrio usai mewisuda para penerbang dan navigator muda di Lapangan Jupiter Landasan Udara Adisutjipto, Sleman, Yogyakarta, Jumat, 4 Juli 2008. 

Dalam kecelakaan yang menimpa pesawat militer, biasanya Komisi Nasional Keselamatan Terbang (KNKT) tidak dilibatkan dalam investigasi penyebab kecelakaan.  Sepenuhnya ditangani tim TNI AU dan mitra pemasok pesawat. 

Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono saat jatuhnya pesawat Casa N-212 di Gunung Salak, 7 tahun lalu. Menurut Menhan, pesawat itu tengah mengadakan penerbangan teknis, bukan penerbangan sipil. Jadi, KNKT tidak perlu dilibatkan.

Publik, melalui media lantas mereka-reka penyebab kecelakaan pesawat militer dari sumber-sumber terkait, atau mewawancarai pakar penerbangan, termasuk mengutip sumber resmi pejabat pemerintah.  

Dalam kasus Casa N-212, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menduga ada kelebihan berat, karena pesawat berkapasitas 12 orang, disi 18 orang, dan masih ditambah 200-an kilogram alat pemotretan udara. Juga dugaan soal usia pesawat yang sudah uzur. 

Juwono menepis analisis itu. Menurutnya, usia tua atau kelebihan muatan bukan penyebab jatuhnya pesawat Casa 212 produksi 1984 itu pada 27 Juni 2008.

“Kalau dari temuan sementara itu memang masalah kabut yang terlalu tebal sehingga pilot kehilangan arah,” katanya, seperti dikutip kantor berita Antara, 1 Juli 2008. 

Menhan menambahkan, dari segi teknis pesawat itu tidak mengalami masalah. Dephan, kata Juwono, selalu mengkaji usia peralatan TNI yang masih layak pakai. Lalu, sebagaimana saya tulis di awal tulisan ini, Menhan mengatakan kalau terlalu tua sekali, di atas 25 tahun, sudah tidak dipakai lagi.

Hercules produksi 1964

Petugas gabungan mencari korban kecelakaan pesawat Hercules yang jatuh di Medan, 30 Juni 2015. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Kemarin, pesawat Hercules C-130 B  kode A-1310 yang jatuh di Jalan Jamin Ginting, diproduksi tahun 1964.  Usianya sudah 51 tahun.   

Mantan KSAU Chappy Hakim melalui akun Twitter-nya @ChappyHakim berkomentar “speechless”, alias kehabisan kata-kata ketika mendapati informasi tragedi mengenaskan atas pesawat berusia lebih dari setengah abad itu.

Kepala Staf AU Marsekal Agus Supriyatna meyakinkan publik bahwa usia pesawat belum tentu menjadi penyebab kecelakaan itu. Ketika meninggalkan bandara Halim Perdana Kusuma pada 29 Juni 2015, Pukul 09.00 WIB, pesawat naas itu dalam kondisi layak terbang.

Pesawat tidak dalam perawatan skuadron teknik. Biasanya, setiap melewati 100 jam terbang, pesawat-pesawat TNI diperiksa skuadron teknik.

Wakil KSAU Marsekal Madya Bagus Puruhito menggarisbawahi pernyataan KSAU.  Meski usia tua, pesawat Hercules dengan rentang usia sama masih banyak digunakan di negara lain, termasuk di negara asal pembuatnya, pabrik Lockheed Martin, di AS.

“Kita juga punya tipe H dan HS, yang memerlukan landasan pacu lebih panjang. Tipe A dan B memerlukan landas pacu lebih pendek. Bahkan, dalam beberapa kasus yang tercatat dalam sejarah pengabdian Hercules C-130, pesawat bongsor ini bisa mendarat di jalan raya. Usia tua kalau dirawat dengan baik, tetap aman dioperasikan,” kata Marsma Bagus, ketika saya kontak, Senin sore, 30 Juni.

Tapi, jika kita melongok ke daftar negara pengguna pesawat Hercules C-130, nampak bahwa banyak negara sudah melakukan peningkatan kemampuan sistem, atau membeli tipe yang lebih baru ketimbang C-130 A dan B. Minimal tipe H dan HS. Seri terbaru adalah Hercules C-130 J yang dibanderol dengan harga sekitar Rp 824 miliar per unit, dan diproduksi sejak 1996. 

Filipina tahun lalu mengumumkan niat membeli pesawat Hercules C-130 bekas pakai dari AS.  Meskipun tidak menyebutkan tipenya, tapi upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi kondisi pesawat serupa yang sudah melalui 24 tahun masa kerja.  

Hercules, dianggap legenda dan pahlawan dalam setiap kejadian, dari perang sampai bencana alam.  Kemampuannya untuk mengangkut logistik dan orang, serta mendarat di lokasi terpencil dengan kapabilitas bandara terbatas, membuatnya menjadi idola di kalangan militer dan sipil. 

Argentina tahun lalu juga umumkan pembaruan jenis Hercules C-130, dan menekankan pentingnya pemeliharaan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa alat angkut udara yang berperan saat keadaan darurat selalu dalam keadaan prima.

Meski penyebab jatuhnya Hercules C-130 A 1310 di Medan, kemarin, belum bisa ditentukan, tak ayal isu usia pesawat militer TNI merebak dan menjadi diskusi di media, termasuk di media sosial.  Pengamat berkomentar, begitu juga anggota DPR.  

Nadanya meminta agar pesawat usia dikandangkan. Salah satunya adalah komentar Jusman Syafii Djamal, mantan direktur utama PT Dirgantara Indonesia yang juga kepala insinyur saat kita membuat N-250.  Jusman pernah menjabat menteri perhubungan dan kini menduduki kursi komisaris utama PT Garuda Indonesia.  

“Pesawat yang sudah berusia lebih dari 30 tahun sebaiknya di-grounded, alias dikandangkan,” kata Jusman, ketika saya tanyai melalui dinding Facebook-nya. Jusman menekankan pentingnya modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista), terutama pesawat angkut yang sangat diperlukan seperti Hercules.

Modernisasi Alutsista Era SBY

Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan fokus kepada evakuasi korban. Kemarin, setelah mendapatkan laporan, Jokowi juga berkicau melalui akun @Jokowi meminta dilakukan evaluasi atas kondisi alustsista kita.  

Modernisasi memerlukan kemauan politik, karena membutuhkan anggaran biaya yang besar. Dari laman Janes.com, saya mendapatkan data bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun lalu mengumumkan kenaikan anggaran pertahanan untuk tahun 2015 menjadi sekitar Rp 95 Triliun, naik 14 persen dibanding tahun 2014.  

Apa saja warisan SBY untuk Jokowi di bidang modernisasi alutsista?

Dari laman TNI AD itu, ada informasi mengenai sejumlah pemesanan terkait alutsista yang akan tiba tahun ini dan tahun depan. Ini pesanan 1-3 tahun lalu.  

Di antara pesanan yang telah tiba terdiri dari 38 unit meriam artileri 105mm bermerk KH178 untuk dua batalion dan 18 unit kaliber 155m untuk satu batalion dikenal dengan sebutan KH179 semuanya made in Korsel. Ini bagian dari belanja Rp 150 triliun untuk alutsista, dalam periode 2010-2014.

Analisis di laman TNI AD itu juga memaparkan “program belanja alutsista ini dikenal dengan sebutan MEF (Minimum Essential Force), yaitu program pemenuhan alutsista untuk standar minimal yang dipersyaratkan. Meski semua belanja alutsista yang direncanakan itu direkapitulasi selama 5 tahun ini, sesungguhnya kekuatan alutsista kita belumlah memenuhi standar berkecukupan apalagi ideal. Artinya meski belanja alutsista bernuansa revolusioner selama 5 tahun ini ternyata belum mencapai standar kecukupan karena memang selama 15 tahun terakhir atau sejak reformasi 1998 belanja alutsista TNI dinomorsekiankan.”

Lebih lanjut, disebutkan, “Meski saat ini kita sudah diperkuat 16 Sukhoi dengan persenjataan rudal lengkap tapi dibanding Singapura dan Australia kita masih kalah kelas jumlah dan kalah kelas. Kepemilikan jumlah kapal selam kita yang hanya dua itu, bandingkan dengan Singapura yang punya 5 unit dan Australia 6 unit. 

“Kondisi idealnya mestinya karena kita negara kepulauan harus punya minimal 12 kapal selam. Tapi jangan pesimis dulu, ini kan kondisi MEF I yang tentu akan berlanjut di MEF II (2015-2019).”

Apa lagi yang kan datang? 

“Setelah 18 unit KH179 itu akan tiba pada tahun ini 12 Pesawat coin Super Tucano, 8 Jet tempur F16 blok 52, 4 UAV Heron, 2 Pesawat angkut berat Hercules, 5 Pesawat angkut sedang CN295, 6 Helikopter serbu Cougar, 20 Helikopter serbu 412EP, 4 Radar, 11 Heli Anti Kapal Selam, 3 Kapal Korvet Bung Tomo Class, 3 Kapal Cepat Rudal 60m PAL, 3 LST, 2 BCM, 40 Tank Leopard, 40 Tank Marder, 50 Panser Anoa, 36 MLRS Astross II, 37 Artileri Caesar, sejumlah peluru kendali SAM, sejumlah peluru kendali anti kapal, Simulator Sukhoi dan lain-lain,” demikian info TNI AD.

“Alutsista paket MEF I tentu tidak berakhir di tahun 2014. Tahun-tahun berikutnya masih akan terus berdatangan sesuai kuantitas pesanan. Misalnya pesanan Tank Leopard, Jet tempur F16 sampai Eurofighter Typhoon. Bahkan ada pesanan MEF I yang belum datang yaitu 3 kapal selam Changbogo Korsel yang diprediksi datang mulai tahun 2016.”  

Penulis analisis berharap anggaran tak kurang dari Rp 200 Triliun dikucurkan untuk periode MEF II (2015-2015).

Dalam daftar di atas kita temukan pesanan dua unit pesawat angkut berat  Hercules dan 5 pesawat angkut sedang CN295.  Belum jelas apa tipe Hercules yang dipesan.  Menurut Wakil Kasau Bagus Puruhito, saat ini kita punya 24 unit Hercules, yang bermarkas di Lanud Abdurachman Saleh Malang, dan di Halim Perdanakusumah.  Mengingat kebanyakan yang kita punyai sudah berusia lebih dari 30 tahun, maka diperlukan lebih banyak seri terbaru atau sistem yang lebih modern untuk pesawat angkut militer.

Mantan KSAU Chappy Hakim sudah lama membagi keprihatinan dalam tulisan di blog personalnya, terkait Hercules C-130. 

“Peluang terjadinya kecelakaan pesawat terbang di TNI itu cukup besar. Anggaran maintenance yang rendah, telah mengakibatkan kesiapan pesawat yang sedikit. Sedikitnya kesiapan pesawat dihadapkan dengan kebutuhan yang besar mengakibatkan training para penerbangnya tidak memadai. Dengan kualitas penerbang yang “pas-pas”an maka mudah sekali untuk ditebak bahwa peluang kecelakaan akan menjadi terbuka,” tulis Chappy.

Chappy melukiskan betapa besar manfaat Hercules dalam tulisan itu. 

“Banyak penerbang yang mengatakan bahwa menerbangkan Hercules merupakan suatu kenikmatan tersendiri. Ruang kokpit yang luas dan mewah, kaca yang luas, peralatan avionik canggih membuat kita betul-betul merasakan terbang sebagaimana layaknya seekor burung Garuda. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan “look like a truck and fly like cadillac.” 

Kenikmatan yang digambarkan Chappy itu tak lagi bisa kita tanyakan kepada Kapten Pilot TNI AU Sandy Permana yang mengemudikan pesawat Hercules yang jatuh di Jalan Jamin Ginting kemarin.  Lulusan terbaik Sekolah Komando AU itu, berakhir hidupnya saat menjalankan tugas, bersama dengan 12 kru dan 101 penumpang lainnya di pesawat itu.  

Kita berharap tidak ada musibah serupa yang sudah memakan korban ratusan prajurit pilihan dari angkatan militer kita, juga warga sipil. — Rappler.com

 Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior yang memiliki pengalaman lintas medium media. Ia adalah Eisenhower Fellow. Tulisannya bisa dinikmati di www.unilubis.com. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!