100 hari Jokowi: Bulan madu yang tak lagi manis

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

100 hari Jokowi: Bulan madu yang tak lagi manis

ADI WEDA

Ketika mencari sumber kesalahan, yang paling mudah dilakukan memang dengan menunjuk pemimpin itu sendiri. Walaupun kritikan publik dapat menjadi alat kontrol untuk mengiring kinerja pemerintah, tidak selamanya ia harus bernada negatif.

Seratus hari pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo ditandai dengan cuitan ketidakpuasan publik di media sosial. Periode awal yang seharusnya menjadi waktu “bulan madu” bagi sang pemimpin justru menjadi momen yang mengantarkannya pada ujung tanduk ketidakpopuleran. 

Minggu lalu (21/0), Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia merilis hasil survei yang mengungkapkan bahwa sebanyak 74.60 persen responden merasa tidak puas dengan kepemimpinan pemerintahan Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla. 

Dalam rilis tersebut pula, Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun mengatakan bahwa penilaian terhadap kinerja pemerintahan cenderung negatif dalam berbagai sektor seperti pendidikan, kartu kesejahteraan, kebijakan ekonomi hingga kebijakan energi. 

Mayoritas keputusan yang diambil Joko selama tiga bulan pertama masa pemerintahannya memang dinilai tidak populer, mulai dari kenaikan harga BBM (walaupun kemudian turun lagi), pemilihan Jaksa Agung HM Prasetyo dari partai politik Nasional Demokrat, penundaan kurikulum 2013, eksekusi terpidana mati, pemilihan Wantimpres, hingga yang paling mutakhir pencalonan tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan — yang kini menjadi salah satu tersangka dalam daftar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

(BACA: Linimasa 100 hari Jokowi)

Peringatan 100 hari pertama Jokowi diwarnai sejumlah kontroversi, apresiasi, dan kekecewaan. Ilustrasi oleh @sketsagram/Twitter

Yang terakhir itu pula ditengarai sebagai sumber perselisihan antara KPK dan Polri. Tidak heran jika kemudian tagar #WhereAreYouJokowi dan #ShameOnYouJokowi menghiasi linimasa dan jelas-jelas menyalahkan Jokowi untuk hal tersebut. Pendukung Jokowi kini beralih ‘menyerang’ sang presiden. 

Ketika mencari sumber kesalahan, yang paling mudah dilakukan memang dengan menunjuk pemimpin itu sendiri. Sama halnya seperti menghentikan sentinel dalam film The Avengers, yang disasar jelas ‘kepala’-nya dahulu sebagai pusat yang memegang kendali. Dan sebagai pemimpin negeri ini, Jokowi memang tidak dapat menghindar dari kritikan karena memang begitulah tujuan dari asas demokrasi. 

Namun demikian, walaupun kritikan publik dapat menjadi alat kontrol untuk mengiring kinerja pemerintah, tidak selamanya ia harus bernada negatif. Beberapa langkah yang diambil Jokowi, walaupun belum diikuti oleh kebijakan konkrit, masih mengingatkan kita atau saya mengapa mendukung beliau pada pemilihan presiden lalu. 

Jokowi menunjukkan konsistensi dalam mendukung lingkungan, terutama masalah dalam masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Baru-baru ini ia mengunjungi Pontianak, Kalimantan Barat. Di sana, beliau mendorong birokrat daerah untuk mengurangi titik api yang menjadi sumber karhutla setiap tahunnya di beberapa wilayah Indonesia seperti Riau, Jambi, Sulawesi, dan Kalimantan. 

Sebelumnya Jokowi juga mengunjungi Desa Sungaitohor di Kepulauan Meranti, Riau, dan menyatakan hal yang sama. Jokowi menyatakan dukungannya kepada penduduk lokal dan mengancam akan mencabut lisensi perusahaan nakal yang merusak dan membakar hutan serta lahan gambut. 

Performa kabinet

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi berunjuk rasa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (23/1). Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Tidak dapat disangkal lagi, performa kabinet menteri sangat memengaruhi laju pemerintahan Jokowi-JK. Dan dengan demikian berpengaruh besar pada ketidakpuasan publik. 

Sejauh ini belum ada perubahan yang betul-betul signifikan yang diberikan oleh Kabinet Kerja. Bahkan, pos-pos kementerian yang strategis justru tidak menunjukkan taringnya seperti macan yang ompong. 

Dibandingkan dengan semua menteri, tampaknya hanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang terlihat benar-benar bekerja sesuai dengan pidato membahana Jokowi saat pelantikannya. Semasa Susi menjabat, Indonesia telah menenggelamkan sejumlah kapal asing ilegal pencuri ikan. Kebijakan tersebut, walau menuai banyak kritikan, menunjukkan bahwa Susi memang sedang bekerja. Dia mengambil keputusan dan dapat belajar darinya. 


Laporan khusus: Janji Jokowi 


Sementara, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, misalnya, sejauh ini belum menyatakan program yang spesifik dan nyata untuk pembangunan manusia Indonesia. Politisi PDI-Perjuangan dan putri dari Megawati Soekarnoputri ini seakan-akan memberi pesan bahwa “dia sedang berlibur”. 

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, pun banyak dikritik karena kebijakannya untuk menunda implementasi kurikulum 2013 secara menyeluruh. Tidak dihapusnya Ujian Nasional dari sistem pendidikan kita pun dikritik oleh ahli pendidikan Indonesia. 

Atau sebut saja Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno yang baru-baru ini memberikan pernyataan sembrono dalam mengomenteri dukungan rakyat untuk KPK. Rupa-rupanya menteri kita satu ini memiliki waktu luang untuk mengecam kebebasan berekspresi rakyat sebagai sesuatu yang “tidak jelas” dibandingkan melakukan sesuatu untuk mengevaluasi keberadaan hukuman mati di Indonesia. 

Kini pertanyannya adalah, masihkah kabinet Jokowi layak disebut sebagai Kabinet Kerja?

Kritikan publik kiranya menjadi cermin bagi Jokowi untuk kebijakan atau keputusan selanjutnya di masa yang akan datang. Kritikan publik itu pula yang dapat menjadi dasar bagi Jokowi untuk mengevaluasi kabinetnya secara menyeluruh. 

Jika mungkin (dan memang bisa), momen 100 hari ini digunakan Jokowi untuk perubahan susunan kabinet. Demi keberlanjutan pemerintahan yang efektif dan jelas, Jokowi sebaiknya mengganti menteri-menterinya yang tidak kompeten. —Rappler.com 

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki minat pada sastra, isu perempuan, dan hak asasi manusia.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!