Mixed Martial Arts

Rupiah melemah, JK marah

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rupiah melemah, JK marah

AFP

Pekan ini rapat dewan gubernur bank sentral AS akan putuskan tingkat suku bunga. Rupiah bakal kian terpuruk atau menguat? Faktor AS mendominasi argumentasi pejabat Indonesia. Mengapa?

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah, karena ada penarikan kembali ke AS.  “Semua negara alami pelemahan mata uang terhadap dolar,” kata Jokowi, saat berkunjung ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Selasa (16/120).  Kurs rupiah terhadap dolar AS kemarin pagi nyaris menyentuh Rp 13.000 per dolar. Dibuka dengan kurs Rp 12.705, kemarin pasar ditutup dengan nilai tukar Rp 12.645 per dolar, terlemah sejak 1998.            

Faktor AS juga dipakai oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil. Menurutnya, nilai rupiah melemah gara-gara dolar AS pulang kampung. Ekonomi AS membaik, begitu juga peluang investasi. Dolar yang mengalir ke pasar yang bertumbuh saat krisis finansial 2008, kini ditarik kembali. Mudik. 

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan rupiah melemah karena bank sentral AS menaikkan suku bunga untuk 2015. Semua pejabat juga tak lupa menyebutkan, pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS tergolong belum separah dampaknya ke mata uang lain. 

Dalam keterangan pers sesudah rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Selasa (16/12), Bambang memaparkan data per 15 Desember 2014, pelemahan rupiah secara harian mencapai 2%, mata uang Rusia yaitu rubel melemah 10,2%, mata uang Turki yaitu lyra melemah 3,4%, dan mata uang Brasil yaitu peso pelemahannya 1,6%. Secara year-to-date dari awal tahun hingga sekarang, pelemahan rupiah sebesar 4,5%, rubel 48,8%, lyra 8,9%, dan peso 12,4%.            

Selain pengaruh kebijakan moneter di AS, Bambang juga menyebutkan bahwa dari sisi domestik dan rutin, permintaan dolar AS pada akhir tahun besar. Permintaan ini berasal dari perusahaan untuk pembayaran utang dan pengiriman dividen, serta adanya reposisi portofolio dari surat berharga dengan denominasi rupiah ke mata uang asing terutama dolar Amerika. “Karena itu pelemahan rupiah sifatnya temporer,” kata Bambang. Ada juga soal jatuh tempo utang luar negeri dan defisit transaksi berjalan yang harus diperbaiki.            

Pelemahan rupiah memancing diskusi, termasuk di media sosial. Banyak yang mengunggah berita media sekitar Februari dan Maret 2014, yang memuat analisa bank asing, juga pengamat yang mengatakan bahwa jika Jokowi terpilih sebagai presiden dalam pemilu Juli 2014, rupiah akan menguat ke angka Rp 10.000 per dolar AS. Kita bisa membaca beritanya sebagaimana dimuat Detik.com dan laman Tempo.co.

Tak cukup, media yang menjadikan faktor potensi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebagai amunisi menolak Prabowo Subianto juga membuat berita analisa, bahwa jika Prabowo Subianto menjadi presiden, maka rupiah akan melorot sampai Rp 13.000. Misalnya, berita Tempo.co yang dimuat 7 Juli 2014, dua hari sebelum hari pencoblosan suara pemilihan presiden.

Nyatanya, semua perkiraan yang sarat maksud politis itu terhempas oleh “faktor Amerika Serikat”. 

Pengaruh kebijakan Federal Reserve

Central Bank of Indonesia. Photo by EPA            

Membaca semua diskusi dan argumentasi yang ujungnya adalah karena faktor AS, saya teringat dua buku yang saya baca beberapa tahun lalu. Soal sosok Alan Greenspan.            

Ada hari khusus di mana seluruh pengambil keputusan ekonomi di dunia menanti ayunan tongkat “Sang Maestro”. Itu sebutan komunitas ekonomi bisnis dan Amerika Serikat atas sosok Alan Greenspan saat dia menjabat posisi super penting, Chairman Federal Reserve, gubernur bank sentral AS, dari tahun 1987-2006, terlama dalam sejarah.    

Setiap hari Selasa kedelapan, tiap tahunnya, Greenspan memimpin rapat dewan gubernur untuk menentukan tingkat suku bunga bank. Dampaknya seketika, bagaikan arus kejut listrik, tidak hanya untuk ekonomi AS, pula ke seluruh dunia. Greenspan adalah maestro ekonomi. Ia menjabat di era Presiden AS dari Partai Republik, Ronald Reagan, dan George H.W. Bush, berlanjut sampai era Presiden Bill Clinton yang berasal dari Partai Demokrat sampai awal pemerintahan George  Bush Jr.

The Secret of Washington. Itu antara lain sebutan bagi sosok gubernur bank sentral AS yang paling populer ini. Sebelum dia, tak banyak yang hafal siapa Fed Chairman. Buku mengenai Alan Greenspan yang berjudul Back From The Brink ini menjadi bukti peran Greenspan dalam perjalanan AS melewati masa krisis ekonomi tahun 80-90-an.  

Buku itu diterbitkan tahun 1996 dan ditulis oleh Steven K. Beckner, jurnalis kawakan yang meliput ekonomi dan kegiatan Fed. Ideologi Greenspan sebagai gubernur bank sentral adalah memerangi inflasi. Itu tugas utama. Naikkan suku bunga.  

Soal lain, seperti penciptaan lapangan kerja, bukan tugas utama Fed. 

Maestro of The Libertarian. Itu sebutan komunitas ekonomi di AS. Bob Woodward, wartawan koran Washington Post menjadikan sebutan Maestro, sebagai judul buku yang ditulisnya tentang Alan Greenspan.

Sebagai gubernur bank sentral, Greenspan punya sikap tidak mau diwawancara. Irit bicara. Dalam sebuah acara, Greenspan sedikit bercanda, “Saya tahu, kalian percaya bahwa kalian paham apa yang menurut Anda saya katakan. Tapi, saya tidak yakin, Anda menyadari bahwa yang Anda dengar itu bukan yang saya maksudkan.”  

Semacam itu cara seorang bos bank sentral berbicara. Penuh enigma, teka-teki. Menyimpan rahasia juga menjadi bagian dari pekerjaannya, bahkan terhadap pacar, yang kemudian menjadi istrinya, Andrea Mitchell.

Andrea Mitchell, adalah wartawan kawakan di jaringan stasiun televisi NBC. Meliput di Gedung Putih cukup lama, kemudian menjadi koresponden luar negeri sejak 1994. Mitchell menikah dengan Greenspan pada April 1997. 

Di buku autobiografinya, Talking Back to Presidents, Dictators, and Assorted Scoundrels, Mitchell menuliskan bagaimana jurnalis membuntuti suaminya setiap hari rapat penentuan suku bunga. Hari di mana Federal Open Market Committee yang dipimpin Greenspan sebagai Fed Chairman rapat. 

Jurnalis dan komunitas bisnis punya istilah “briefcase index”, untuk meramalkan, Greenspan bakal naikkan suku bunga, atau memangkasnya.  

“Tas yang tipis, diartikan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Jika membawa tas besar, maka mereka mengira suku bunga akan naik,” ujar Mitchell di bukunya.

Buat Mitchell dan Greenspan, “briefcase index” menjadi diskusi yang lucu. Padahal, kata Mitchell, ia membelikan dua tas sebagai hadiah Natal bagi suaminya. Jika perlu membawa banyak buku, Greenspan membawa tas besar. “Tidak ada kaitannya dengan kebijakan moneter,” kata Mitchell.  

Tapi, itulah salah satu bukti, mitos yang berkembang, yang menunjukkan kekuasaan dan pengaruh Greenspan. Melebihi pengaruh presiden dalam bidang ekonomi.  

Tongkat maestro Greenspan menentukan nasib keadaan ekonomi setiap warga AS. Mempengaruhi ketersediaan uang untuk usaha atau pinjaman konsumer, kredit rumah, penciptaan lapangan pekerjaan dan semua aspek yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi AS. Yang berpengaruh ke tingkat pertumbuhan ekonomi negara mitranya, yang notabene seluruh dunia. Termasuk Indonesia.

Greenspan sudah lengser. Ben Bernanke, lalu kini Janet Yellen mengganti posisinya. Tapi pengaruh era Greenspan begitu besar menjadikan Fed sebagai institusi paling penting dalam naik-turun ekonomi dunia. Hari-hari ini, saat kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah, kita mendengar kata-kata itu bagaikan mantra. Ini pengaruh kebijakan moneter dan fiskal AS. 

Tanggal 19 Desember pekan ini, FOMC akan mengadakan rapat penentuan suku bunga. Rapat yang ditunggu. Jika keputusannya adalah menaikkan suku bunga, maka investasi di mata uang dolar AS dianggap kian menarik. Rupiah bakal makin loyo. Saat bertemu dengan nelayan di Sigam, Kotabaru, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyinggung bagaimana nasib nelayan jika nilai rupiah menyentuh Rp 15.000 per dolar AS. Soalnya bahan pakan ikan 70 persen masih diimpor. Begitu juga peralatan lain untuk nelayan termasuk bahan membuat jaring. Saya menuliskannya kemarin di sini:

Saya tidak tahu apakah ucapan Menteri Susi bisa dianggap sebagai kode. Pertanda. 

Mengapa JK marah?

Wakil Presiden Jusuf Kalla. Foto oleh wapresri.go.id

Sebagai warga yang punya kepentingan terhadap kondisi ekonomi, dan tidak punya banyak simpanan dolar AS juga, saya berharap nilai tukar rupiah tidak melorot terus. Minimal stabil. Saya pikir ini juga keinginan banyak pihak. Bahkan eksportir komoditas yang menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla senang dengan melemahnya rupiah, karena berarti mendapat harga jual yang baik, pasti lebih senang jika situasi kurs lebih stabil. Ini memudahkan mereka membuat proyeksi rencana bisnisnya, minimal dalam tiga sampai enam bulan ke depan.

Rupiah yang terus melorot juga membuat Pak JK marah, karena ada studi yang menyatakan mata uang rupiah sebagai mata uang “sampah”.   The Richest meluncurkan studi yang menempatkan Rupiah di peringkat keempat terbawah dalam 15 mata uang paling lemah (tentu terhadap dolar AS). Ketika ditanyai wartawan di kantor wakil presiden, ini tanggapan Pak JK sebagaimana diberitakan laman Kompas:

“Saya ingin katakan sama Anda, rupiah jauh lebih kecil pelemahannya dibandingkan yen, won, ringgit, jadi kita lebih baik daripada dia. Jangan bilang sampah Anda punya negeri,” kata Kalla dengan nada meninggi, Selasa (16/12)
Ia bahkan sempat meminta wartawan dua kali mengulangi pertanyaannya yang menyebut rupiah dinilai sebagai mata uang sampah tersebut. “Ulangi lagi! Ulangi lagi! Jadi kau tak pakai rupiah? Jangan ngomong begitu dong tentang rupiah,” ucap Kalla.

Bahkan jika dikritik pedas, saya mengenal Pak JK sebagai orang yang tak gampang emosi. Tapi kali ini, rupanya beliau tersinggung berat atas studi itu.  Lagipula, dalam sepekan ini, di antara pejabat tinggi, yang nampak paling santai menghadapi pelemahan Rupiah adalah Pak JK. Dolar menguat, eksportir bahagia. Yang nggak senang hanya yang suka barang impor. Begitu argumentasinya. Berpikir positif.

Padahal, banyak industri kita menggantungkan dari barang modal yang masih diimpor. Termasuk industri pertanian dan pangan. Contohnya ya pakan ikan itu. Masih banyak lagi. Swasembada yang dijanjikan masih perlu waktu. Tiga tahun, demikian janji Jokowi.  Selama tiga tahun sebelum itu, apa yang terjadi? 

Soal defisit transaksi berjalan itu contohnya. Saat menjadi Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, selain impor bahan bakar minyak (BBM), penyumbang defisit transaksi berjalan kita juga datang dari sektor jasa. Yang surplus cuma di pariwisata. Belanja turis asing di Indonesia lebih besar dibanding turis Indonesia di luar negeri. Lainnya defisit, termasuk di sektor perkapalan, keuangan, asuransi, bahkan remitensi tenaga kerja.  Gaji ekspatriat asing di Indonesia lebih besar dari total gaji tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Pernyataan Bambang dimuat di sini.

Kemarin, Menkeu Bambang mengakui, masalah defisit masih signifikan. Harga minyak internasional memang terus turun, mencapai angka sekitar US$ 60 dolar per barel. Harga minyak Brent terendah sejak Mei 2009. Tapi, buat negara net importer seperti Indonesia, dengan situasi menguatnya dolar AS, penurunan harga minyak internasional ini belum ada manfaatnya. Setiap hari kebutuhan BBM kita 1,6 juta barel, yang diproduksi sendiri 800an juta barel. Mendapatkan keseimbangan antara nilai tukar dengan harga internasional minyak, entah kapan.

Ada juga debat soal bahwa melemahnya rupiah akibat warisan situasi ekonomi yang ditinggalkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya soal membengkaknya utang luar negeri yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Faktor SBY. Ada benarnya.  

Tapi, Presiden Jokowi saat berani mengambil kesempatan memimpin negeri tentu sudah tahu situasi ini. Sudah riset. Jadi, tidak pantas juga kalau melempar alasan itu. Rakyat menunggu, apa resep manjur dari pemerintahan baru untuk menyembuhkan “penyakit” ekonomi itu termasuk melewati masa-masa sulit akibat melemahnya rupiah. 

Malam tadi, Jokowi mengundang menterinya untuk rapat membicarakan penajaman Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Menteri yang hadir antara lain, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Tak ada perubahan berarti, hanya persiapan ke DPR, pula alokasi anggaran. “Anggaran terbesar di infrastruktur. PU paling besar. Tadi juga dibahas agar defisit bisa dijaga [rendah],” jelas Menko Sofyan, sebagaimana dikutip media. 

Akan ada penghematan anggaran, meskipun belum dirinci oleh Menko Sofyan. Yang sudah diputuskan Jokowi sebagaimana diberitakan luas adalah likuidasi 10 lembaga non struktural. Kabarnya, masih puluhan lagi yang bakal dilikuidasi. Penghematan lain?

Belum pasti. Menunggu hasil rapat dewan gubernur Federal Reserve. Faktor AS ternyata masih super menentukan. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!