Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Temu Kepentingan Dua Seteru Lama Iran-AS (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Sepanjang 12 bulan terakhir dunia menyaksikan pergeseran penting hubungan Iran dan Amerika Serikat (AS) --yang jika benar-benar berhasil dipulihkan, tidak saja akan mengubah peta politik Timur Tengah melainkan juga berdampak besar pada perimbangan kekuatan di level global.

Dua negara yang biasa bertukar ancam itu kini saling mendekat meski nampak lambat. Indikasinya sederhana, kesediaan Washington dan Tehran duduk bersama merundingkan program nuklir yang selama bertahun-tahun menjadi biang sengketa.

Padahal masih segar dalam ingatan bagaimana dua tahun lalu mantan presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad secara membabi-buta menyebut bahwa virus HIV adalah hasil konspirasi negara-negara Barat demi target penjualan obat, atau bahwa "AS dengan sengaja merencanakan serangan 9 September sebagai alasan menguasai Timur Tengah".

Di sisi lain AS juga tidak kalah keras. Mantan presiden George W. Bush pernah menyebut Tehran sebagai salah satu "poros setan dunia" sementara Presiden Barack Obama mengatakan bahwa ancaman agresi militer terhadap Iran bukan hanya gertak sambal.

Namun kenapa hanya pada tahun ini kedua seteru itu menurunkan tensi dan bersedia membuka ruang komunikasi formal perundingan nuklir untuk menyelesaikan sengketa? Beberapa pihak merespon pertanyaan ini dengan menyebut naiknya tokoh moderat Hassan Rouhani ke istana bangsa Persia. Namun jawaban itu hanya memunculkan pertanyaan lanjutan, kenapa penduduk Iran memilih tokoh moderat dan bukan garis keras seperti Ahmadinejad dalam pemilu presiden 2013? Kepentingan Iran Majalah The Economist edisi November 2014 mengusulkan tiga alternatif jawaban, yaitu pergeseran kultur ke arah liberal sebagai akibat dari semakin tingginya tingkat pendidikan, menurunnya performa ekonomi Iran pasca-sanksi negara-negara Barat, dan melemahnya rezim sekutu di Timur Tengah.

Faktor yang pertama, yaitu tingginya tingkat pendidikan yang memicu evolusi budaya ke arah liberal, berkontribusi besar pada terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden. Sebanyak 55 persen kaum muda Iran kini mengenyam pendidikan tingkat universitas--dengan jumlah mahasiswa perempuan dua kali lebih banyak.

Selain itu, penerbitan jurnal akademik meningkat 575 persen selama satu dekade terakhir dan jumlah cetakan buku di negara itu tiga kali lebih banyak dibanding gabungan semua negara Arab.

Bahkan pemerintah pusat di Tehran mempunyai menteri bergelar PhD lebih banyak dibanding AS.

"Perluasan akses pendidikan, khususnya untuk keluarga miskin dan terpencil, telah menjadi katalis bagi terbentuknya budaya berpikir yang independen...Warga Iran sudah bosan dengan indoktrinasi dan sebagian besar lebih mengutamakan individualisme dibanding kewajiban sosial," tulis The Economist dalam liputan khusus bertajuk "Revolusi Telah Usai".

Akibatnya, warga Iran dalam pemilu tahun lalu tidak lagi tertarik dengan retorika anti-Barat ala Ahmadinejad yang sebelumnya selalu menjadi topik favorit kampanye di negara tersebut sejak revolusi 1979 pecah.

Muncullah kemudian Rouhani--sang tokoh moderat yang mengubah haluan politik luar negeri--penganjur reformasi ekonomi dan pelayanan publik.

Faktor kedua yang membuat Iran membuka diri terhadap kompromi perundingan nuklir adalah masalah ekonomi. Sanksi dari negara-negara Barat membuat pertumbuhan produk nasional bruto berkontraksi minus 5,8 persen dengan inflasi sekitar persen pada 2012--tepat satu tahun sebelum Rouhani terpilih.

Akibatnya, pendapatan riil masyarakat turun drastis dan tingkat pengangguran meningkat. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, Iran adalah negara dengan sistem ekonomi termaju se-Timur Tengah dengan basis industri-jasa dan selalu berhasil menjaga pertumbuhan sebesar 5,1 persen.

"Hari ini semua negara harus menyadari bahwa isolasionisme, baik itu dipaksakan ataupun atas kehendak sendiri, adalah hal yang sama sekali tidak menguntungkan," tulis Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif di jurnal Foreign Affairs yang mengindikasikan kesiapan Iran mengkompromikan program nuklir dengan Barat demi menyelamatkan perekonomian.

Faktor yang terakhir adalah semakin terdesaknya Iran dalam konstelasi politik kawasan. Rezim-rezim yang selama ini menjadi sekutu Tehran--Suriah dan Irak--kini terus melemah akibat bangkitnya arus demokrasi yang ironisnya didomplengi oleh kelompok garis keras baru seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Jika dulu negara-negara teluk yang dikuasai oleh segelintir keluarga kerajaan (kebetulan beraliran Sunni) khawatir akan meluasnya revolusi Islam Syiah Iran 1979, maka kini situasinya berbalik. Tehran sekarang sendirian dikepung oleh kekuatan musuh.

Di Suriah misalnya, sikap Hizbullah--organisasi paramiliter asal Lebanon yang didanai Tehran--mendukung Presiden Bashar al-Assad membuat revolusi 1979 tidak lagi menjadi rujukan anak-anak muda pro-demokrasi di negara tersebut. Yang menuai untung kemudian justru kelompok salafi garis keras ISIS. (Ant/GM Nur Lintang Muhammad)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Advertisement

Bagikan Artikel: