Nuklir Rusia buat Jokowi-JK: Hanya sebatas angan?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nuklir Rusia buat Jokowi-JK: Hanya sebatas angan?

EPA

Pemanfaatan tenaga nuklis di Indonesia menuai pro dan kontra, tapi Indonesia tidak bisa bergantung selamanya kepada batu bara.

Ketika Presiden Joko Widodo berada di luar negeri untuk serangkaian pertemuan dan kunjungan penting, dari APEC, KTT Asean, hingga pertemuan G20, di dalam negeri Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki segudang kesibukan. Di antaranya menerima delegasi dari Rusia yang dipimpin Ketua Dewan Federasi Majelis Federal Rusia, Valentina Matviyenko. Pertemuan berlangsung Rabu (12/11), di kantor wakil presiden, Jakarta.

Valentina Matviyenko, 65 tahun, adalah tokoh penting di Rusia. Ia dikenal dekat dengan Presiden Vladimir Putin. Ia sukses menjadi gubernur Saint Petersburg pada 2003 berkat dukungan Putin. Sebagai gubernur, lulusan Fakultas Kimia dan Farmasi Universitas Leningrad ini membangun berbagai megaproyek.

Politisi kelahiran Ukraina ini membangun jalur lingkar Saint Petersburg. Di jalur ini terdapat jembatan yang melintasi Sungai Neva, yang dikenal sebagai jembatan Obukhovsky. Panjangnya 382 meter dan lebar 120 meter, jembatan ini menggantung pada kabel baja dengan sistem konstruksi yang rumit. Di muara sungai ia membangun proyek reklamasi, yang disebut bakal menjadi “kota dermaga terbesar di Eropa’’. 

Valentina Matviyenko — nama belakang ini diambil dari kawan kuliah yang kemudian jadi suaminya — juga sukses membangun kawasan industri yang menghadirkan Toyota, General Motors, Nissan, Huyndai, Suzuki, Scania, Magna International. Berbagai sukses itu membuat Valentina Matviyenko sebagai salah satu politisi wanita paling top di Rusia. Ia disebut punya kekuasaan tertinggi ketiga di negeri “beruang merah’’ itu.

Dengan berbagai catatan cerah itu, wajar bila Valentina Matviyenko menjadi utusan Pemerintah Rusia untuk berbicara lebih konkret mengenai kerjasamanya dengan Indonesia. Pada 10 November, alias dua hari sebelum pertemuan itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bertemu Presiden Vladimir Putin di Beijing.

Joko Widodo menawarkan agar investor Rusia datang ke Indonesia untuk membangun berbagai proyek: antara lain smelter, pelabuhan, jalan, dan pembangkit listrik. Sementara Presiden Putin mengatakan, Indonesia merupakan sahabat kunci Rusia di Asia Pasifik. Ia berniat meningkatkan perdagangan kedua negara, yang akhir-akhir ini sempat menurun.

Valentina Matviyenko datang menemui Jusuf Kalla dengan membawa gagasan lebih konkret. Ia ingin meningkatkan kerjasama militer, terutama dalam pemberantasan terorisme. “Indonesia adalah sahabat kunci Rusia di Asia Pasifik,’’ katanya. Ia juga menyampaikan niatnya agar sistem satelit Rusia, Glonass, boleh meletakkan stasiun pengendalinya di Indonesia.

Glonass adalah sistem satelit GPS versi Rusia. Soal ini akan saya tulis di kesempatan lain. Ada beberapa hal lain yang juga disampaikan, namun yang cukup mengundang sorotan adalah keinginan Rusia untuk turut membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.

Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Kehadiran reaktor nuklir di Indonesia sudah hampir setengah abad. Pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Setahun kemudian diresmikan Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, di Jakarta. Pada 1967 diresmikan Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta.

Di Babarsari, wilayah sebelah timur Yogyakarta, sejak 1979 beroperasi reaktor nuklir Kartini berkapasitas 100 kilo-watt untuk penelitian. Reaktor Serba Guna 30 MW, disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif dan fasilitas nuklir lainnya, diresmikan pada 1987 di Serpong, Banten, dan dikenal sebagai MPR RSG-GA Siwabessy.

Di bidang pertanian, untuk rekayasa benih, atau pemanfaatan nuklir di bidang kedokteran, juga sudah berlangsung lama. Namun untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), Indonesia masih belum beranjak dari tahapan wacana. 

Urung lagi?

Wakil Presiden Jusuf Kalla berdiskusi dengan Ketua Dewan Federasi Majelis Federal Federasi Rusia Valentina I Matvienko, Rabu (12/11). Foto oleh Jeri W./wapresri.go.id

Setelah melalui berbagai studi, menghabiskan duit miliaran rupiah, pemerintah pada zaman Presiden Soeharto memutuskan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun di Muria, Jepara, sebuah lokasi di bagian utara Jawa. Lokasinya tidak punya riwayat gempa, dan cukup jauh dari permukiman.

Munculnya aksi demo yang menentang pembangunan pembangkit PLTN di Muria membuat pemerintah urung. Hingga kini tidak jelas nasibnya: Apakah PLTN di Muria itu mau diteruskan, atau dihentikan. Namun belakangan pemerintah mencari lokasi lain. Provinsi Kalimantan Barat menawarkan lokasi PLTN. Tapi pemerintah lebih memilih Pulau Bangka.

Survei tapak terhadap Bangka sudah dilakukan. Kekuatan tanah, efek gelombang laut, kemungkinan terjadinya gempa, hingga topografinya, juga sudah diteliti. Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin BUMN Surveyor Indonesia. Seorang teman, yang kebetulan insinyur nuklir dari UGM, kebagian menggarap survei geotek, untuk mengetahui kekuatan tanah calon lokasi PLTN.

Dalam sebuah seminar di Universitas Pancasila, Jakarta, yang bertema “Understanding the Fukushima Nuclear Reactor Accidents and Its Recovery’’, Maret lalu, Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir Batan, Yarianto Sugeng Budi Susilo mengatakan, Bangka layak menjadi lokasi pembangunan PLTN. Kalau terjadi tsunami, katanya, tinggi gelombangnya paling cuma 1 meter.

Dari sisi penggiat energi terbarukan, termasuk nuklir, pembangunan PLTN dipandang sebagai hal yang tak boleh ditunda-tunda lagi. Apalagi, negara yang secara ekonomi lebih miskin dari Indonesia, seperti Bangladesh, ternyata sudah mengoperasikan dua pembangkit nuklir, dikenal sebagai Ruppur 1 dan Ruppur 2, yang masing-masing berkapasitas 1.000 MW.

Thailand juga tengah giat merencanakan pembangunan PLTN, yakni Akkuyu (4.800 MW) dan Sinop (5.000 MW). Yordania pada 2019 menargetkan sudah memiliki satu PLTN berkapastias 1.000 MW. Kontraktornya adalah perusahaan Belgia, Trectebel Engineering. Reaktor yang akan dipakai adalah buatan Rusia, VVER-1000.

Sengaja saya mengambil contoh Bangladesh, Thailand, dan Yordania, yang ekonominya hampir sama, atau bahkan lebih rendah, untuk menunjukkan bahwa pembangunan PLTN tidak semata-mata bergantung pada tingkat ekonomi sebuah negara. Pertimbangan dari sisi ekonomi dan politik lebih menentukan.

Perkembangan pembangunan PLTN di Indonesia mungkin bisa tercermin dari nasib Jurusan Teknik Nuklir di Fakultas Teknik UGM. Pada Agustus 1977, perguruan tinggi di Yogyakarta ini membuka Jurusan Teknik Nuklir, kerjasama antara UGM dengan Batan. Kepada setiap mahasiswanya ditawarkan ikatan dinas, setelah lulus langsung menjadi pegawai negeri di Badan Tenaga Atom Nasional.

Seiring dengan ketidakjelasan pembangunan PLTN dan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, tawaran ikatan dinas itu kemudian ditiadakan. Bahkan Jurusan Teknik Nuklir kini menjadi Jurusan Teknik Fisika.

Batu bara di Indonesia memang masih melimpah. Namun mengandalkan batu bara saja tentu tidak bijaksana.

Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo; penggiat media sosial Nukman Luthfie; serta bekas wartawan Editor, Tatik Saadati Hafidz, adalah alumni Teknik Nuklir UGM. Mereka masuk UGM pada 1983. Yudi Utomo Ismardjoko, Direktur Utama PT Batan Tek, produsen terkemuka radio isotop di dunia, adalah juga alumni Teknik Nuklir UGM, angkatan masuk 1981. 

Jusuf Kalla tampaknya masih melihat PLTN sebagai alternatif terakhir. Ketika ia menjadi wakil presiden periode 2004-2009, ia mencanangkan gerakan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW. Tak satu watt-pun dari nuklir. Demikian pula kali ini, ketika ia menjadi wakil presiden periode 2009-2014. Dari 35.000 MW tenaga listrik yang diniatkan dibangun pemerintah, yang menjadi andalan adalah batu bara.

Batu bara di Indonesia memang masih melimpah. Namun mengandalkan batu bara saja tentu tidak bijaksana. Batu bara punya nilai lebih, pengolahannya gampang. Namun sebagai bahan bakar dari fosil, batu bara merupakan sumber yang tidak terbarukan. Penggaliannya juga menimbulkan efek lingkungan. Pembakarannya juga menyisakan abu. Sulfurnya bisa menyebabkan hujan asam.

Tiongkok dan India adalah dua negara dengan tingkat ekonomi hampir sama dengan Indonesia yang juga mengandalkan batu bara sebagai sumber energi. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu kini disibukkan untuk memerangi polusi akibat pembakaran batu bara besar-besaran. Menjelang pertemuan APEC lalu, pemerintah Tiongkok melakukan sejumlah upaya ekstra agar langit bisa tampak cerah, serta sinar matahari bisa menembus bumi. Tiongkok pun mengembangkan pembangkit dari sumber lain, termasuk nuklir.

Tiongkok kini memiliki 22 PLTN yang telah beroperasi, yang terbesar adalah Sanmen (1.250 MW). Sebanyak 28 pembangkit lain, terkecil berkapasitas 650 MW, segera menyusul. Adapun India sejak 1964 sudah mengoperasikan PLTN, yakni Tarapur, berkapasitas 150 MW. Total India memiliki 22 PLTN yang telah beroperasi. Sebanyak enam PLTN lainnya tengah dibangun.

‘Baru akan’

Saya belum pernah membaca ucapan Jokowi-JK mengenai sikapnya terhadap pembangunan PLTN. Hanya saja pada 1 Oktober lalu, artinya sebelum mereka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, muncul pernyataan dari penasihat Tim Transisi Jokowi-JK, yakni Luhut Panjaitan.

Pensiunan jenderal yang juga pengusaha batu bara dari kelompok Toba Bara Sejahtra ini mengatakan, Jokowi-JK belum akan memprioritaskan pembangunan listrik nuklir. “Tapi mungkin saja dibangun, dalam skala kecil,’’ katanya.

Para penggiat energi nuklir berharap, pemerintahan Jokowi-JK segera merealisasikan rencana pembangunan PLTN. Sebagaimana batu bara yang memiliki nilai plus dan minus, demikian pula PLTN. Bila terjadi kebocoran, sebagaimana dialami di Chernobyl (Rusia), Three Miles Island (Amerika Serikat), dan Fukushima (Jepang), efek radiasinya memang sangat berbahaya.

Karena itu, bila ingin membangun listrik dari nuklir, memang harus dengan kehati-hatian ekstratinggi, plus tingkat keamanannya harus berlipat-lipat. Namun nuklir punya nilai lebih, antara lain tidak menimbulkan emisi.

Rusia, yang pernah mengalami musibah ledakan PLTN Chernobyl — sebuah kota di Ukraina — pada 1986, juga sudah belajar banyak. Tingkat keamanan reaktor diperbaiki. Kini, Rusia mengoperasikan 33 pembangkit listrik nuklir, yang terbesar berkapasitas 1.175 MW, 14 pembangkit lainnya tengah dibangun, dan empat dalam perencanaan. Pembangkit nuklirnya yang paling tua dan masih beroperasi adalah Novovoronezh 3, berkapasitas 385 MW. Tiga pembangkitnya yang sudah uzur, buatan 1951-1962, sudah ditutup.

Kedigdayaan pembangkit nuklir inilah yang ingin dibawa Valentino Matviyenko ke Indonesia. Bila Indonesia memutuskan bakal membangun pembangkit nuklir, dan menggunakan teknologi Rusia, neraca perdagangan Indonesia – Rusia pasti akan cepat menggelembung.

Selama ini banyak investasi Rusia di Indonesia yang sifatnya “baru akan’’. Februari lalu, misalnya, ditandatangani kerjasama antara PT Arbaya Energy (milik Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang Sulisto) dengan UC Rusal (milik orang dekat Vladimir Putin, yakni Oleg Deripaska) untuk membangun smelter bauksit di Kalimantan Barat. Rusal adalah salah satu produsen aluminium terbesar di dunia. 

Namun pada 20 Oktober lalu, Kepala BKPMD Kalimantan Barat, Sri Jumiadatin, menilai investor Rusia gerakannya lambat. Rencana pembangunan smelter sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. Februari lalu MoU pembangunan smelter diteken. Tapi hingga kini tidak ada kelanjutannya.

Dalam hal pembangunan PLTN tampaknya juga akan begitu. Bila Rusia bertindak sebagai penjual barang dan jasa, dan Indonesia sebagai pembelinya, gerakan akan berlangsung cepat. Namun bila Rusia berlaku sebagai investor, sebagaimana Rusal di Kalimantan Barat, situasinya pasti akan berbeda.

Melihat situasi ini, saya menduga, pembangunan PLTN di Indonesia, entah menggunakan teknologi Rusia, Turki, Korea, Jepang, atau dari manapun, akan seperti kapal di gelombang laut: kadang-kadang isunya nongol, kadang-kadang turun. Tapi semuanya masih sebatas pada tataran wacana, paling tidak dalam lima tahun ini. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!